Di balik hiruk-pikuk kehidupan, ada mimpi-mimpi yang diam-diam tertinggal, terselip di lorong-lorong sunyi yang jarang disentuh cahaya. Mimpi itu mungkin pernah begitu besar, menyala terang dalam dada seseorang—tentang menjadi seniman, menulis buku, membuka usaha, atau sekadar hidup tenang bersama keluarga. Namun seiring waktu, kenyataan menekan dari segala arah. Rutinitas, tuntutan hidup, dan luka masa lalu perlahan menggeser mimpi itu ke sudut yang terlupakan, hanya sesekali muncul dalam keheningan malam.
Tak semua orang berhenti bermimpi karena menyerah. Banyak yang menyimpan mimpinya dalam diam karena keadaan tak lagi ramah. Beberapa memilih realistis, yang lain terpaksa pasrah. Dan disanalah mimpi-mimpi itu tertidur—bukan mati, tapi seakan menunggu kesempatan untuk bangkit. Lorong sunyi itu bisa berupa ruang batin yang tak pernah sempat dibersihkan, penuh tanya, ragu, dan penyesalan. Namun di saat yang sama, lorong itu juga bisa jadi ruang refleksi, tempat di mana harapan perlahan bisa kembali ditata.
Mimpi yang tertinggal bukan berarti tak berguna. Ia justru bisa menjadi kompas tersembunyi, mengingatkan kita pada siapa kita sebenarnya, sebelum hidup mengubah arah pandang. Kadang, dalam kesendirian dan sunyi, kita justru menemukan kembali percikan kecil yang pernah membuat mata kita berbinar. Sunyi memberi ruang untuk mendengar suara hati yang tertutup oleh bising dunia luar. Dan jika kita cukup berani, https://mimpi44.com itu bisa dijemput kembali—pelan-pelan, dengan langkah sadar dan hati yang lebih matang.
Mungkin sekarang bukan waktu yang paling mudah, tapi tidak ada kata terlambat untuk kembali ke mimpi itu. Kita tak perlu mengejarnya dengan gegabah, cukup mulai melangkah. Mungkin hari ini hanya satu baris tulisan, satu gambar sederhana, satu percakapan bermakna—namun dari situlah mimpi bisa hidup kembali. Lorong sunyi bukan akhir dari segalanya. Justru di sanalah, banyak mimpi besar pernah menunggu—dan akhirnya, menemukan jalannya pulang.